Minggu, 03 Januari 2010

Makalah Tentang Pemilu

BAB I
PENDAHULUAN
Pemilu merupakan ekspresi perilaku politik yang mampu menjadi indikator dalam menunjukkan kematangan berpolitik, mulai dari lingkup individu, komunitas dan golongan, maupun secara nasional. Proses pemilu baik dalam memilih anggota legislatif pusat dan daerah, maupun memilih presiden dan wakil presiden, memerlukan ragam tahapan yang saling berkesinambungan. Mulai dari penyusunan undang-undang, peraturan pemerintah, pembentukan institusi pelaksana dan pengawas pemilu, legalitas partai-partai politik peserta pemilu, penentuan para calon legislatif, penentuan calon presiden dan wakil presiden, sampai penyusunan daftar pemilih yang berhak mengikuti pemilu. Ragam tahapan yang berkesinambungan tersebut merupakan rangkaian proses sebagai sebuah pembuktian berjalannya demokrasi pada jalurnya. Hasil dari rangkaian proses inilah yang menjadi penanda akan kualitas kematangan berpolitik.
Dalam Pemilu 2009 yang telah diselenggarakan tahun lalu, jumlah pesertanya mencapai 34 partai politik nasional yang ditetapkan sebagai peserta Pemilihan Umum 2009. Terdiri dari 16 parpol lama yang memiliki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat dan 18 parpol baru yang lolos verifikasi faktual. Selain itu masih ditambah lagi dengan 6 partai politik lokal di Nanggroe Aceh Darussalam sebagai peserta Pemilu 2009. Komisi Pemilihan Umum juga telah menetapkan jumlah pemilih untuk Pemilu 2009 sebesar 171.068.667 orang. Jumlah itu berasal dari pemilih dalam negeri dari 33 provinsi sebesar 169.558.775 orang dan pemilih luar negeri dari 117 perwakilan Indonesia di luar negeri sebanyak 1.509.892 orang.
Sesuai dengan amanat UUD 1945, Pasal 22 E ayat (5) bahwa pemilihan umum (Pemilu) harus diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. UUD 1945 hasil amandemen itu telah secara tegas menetapkan bahwa tidak ada lembaga lain yang berhak menyelenggarakan Pemilu dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, selain Komisi Pemilihan Umum (KPU). Aspek operasional yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum selanjutnya dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD. Sesuai dengan amanat UU itu, maka tugas KPU meliputi: penyelenggaraan seluruh tahap pelaksanaan Pemilu sesuai amanat UU 10/2008 tentang Pemilu, pendaftaran pemilih, pendaftaran dan verifikasi peserta Pemilu, pemetaan daerah pemilihan, penetapan jumlah kursi DPRD setiap daerah otonom, pengadaan dan distribusi logistik Pemilu, penataan penyelenggaraan kampanye, penetapan tempat pemungutan suara (TPS), pemungutan dan penghitungan suara, pengiriman hasil penghitungan suara, penetapan calon terpilih, penentuan sistematisasi dan publikasi hasil Pemilu, serta evaluasi penyelenggaraan Pemilu usai dilangsungkannya Pemilu.
BAB II
PEMBAHASAN
Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebuah lembaga independen pemerintah telah menetapkan tanggal 9 April 2009 adalah hari Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2009 untuk pemungutan suara bagi warna negara Indonesia yang telah terdaftar dan memiliki hak pilih. Awalnya KPU menetapkan tanggal 5 April 2009 sebagai hari pemungutan suara, namun diubah dengan pertimbangan dari Presiden, Mendagri dan MK.
Kita semua berharap pelaksanaan Pemilu akan semakin baik jauh dari kecurangan, kekerasan dan dilakukan dengan damai dan aman. Sangat diharapkan semua rakyat Indonesia yang merasa memiliki hak pilih untuk dapat menggunakannya secara bijak dan dengan besar hati mengakui keabsahan dari pelaksanaan Pemilu 2009 nanti karena pada intinya ini adalah proses demokrasi bangsa untuk menuju kesejahteraan masyarakat banyak dan untuk kita semua. Hidup Indonesia!.
Pemilu 2009, baik pemilihan anggota legislatif (DPR, DPRD dan DPD), maupun pemilihan presiden (pilpres) merupakan bagian integral dari proses demokrasi politik nasional, khususnya sejak pasca Orde Baru. Pemilu 2009, adalah yang ketiga setelah 1999 dan 2004. Dibandingkan dengan sebelum 1999, politik Indonesia sudah banyak berubah. Pemilu-pemilu era reformasi berbeda jauh dengan pemilu-pemilu di masa Orde Baru. Selain bersifat multipartai, pemilu-pemilu pasca Orde Baru boleh dikatakan berkembang dinamis.
Sistem pemilu yang diterapkan memang masih merupakan sistem proporsional, yang membedakan dengan sistem distrik. Tetapi, pada praktiknya semakin mengarah ke sistem distrik, sebagai konsekuensi dari derivasi sistem proporsional tertutup (1999) ke “setengah terbuka” atau sistem proporsional dengan daftar calon terbuka (2004), hingga ke sistem proporsional terbuka murni (2009).
Perubahan sistem pemilu tersebut memberikan konsekuensi-konsekuensi tersendiri. Dalam konteks penyelenggaraan Pemilu 2009 aturan main (electoral law) yang ada, sebagaimana sebelum-sebelumnya, tak lepas dari dinamika politik para pengambil keputusan. Pihak DPR, yang tentu saja didominasi oleh kepetingan partai-partai politik, khususnya yang sudah “mapan”, telah bekerja sedemikian rupa dalam “menyempurnakan” paket UU bidang politik. Walhasil, disepakatilah UU tentang Pemilu yang mencatatkan adanya derivasi sistem proporsional yang disebut sebagai sistem proporsional terbuka terbatas. Intinya, sama dengan sistem sebelumnya, hanya angka dukungan keterpilihan atas bilangan pembagi pemilih (BPP) diturunkan dari 100 persen menjadi 30 persen.
DPR juga menyepakati, dan tentu ini bagian dari suatu kompromi politik antara “fraksi-fraksi besar” dan “fraksi-fraksi kecil” (berisi wakil-wakil rakyat dari partai-partai politik yang pada Pemilu 2004 tidak cukup memperoleh angka electoral threshold), bahwa semua partai politik peserta Pemilu 2004 otomatis merupakan peserta Pemilu 2009. DPR telah inkonsisten dengan UU sebelumnya yang secara tegas mengamanatkan agar partai-partai politik di bawah angka electoral threshold, tidak boleh lagi menjadi peserta pemilu.
Sampai pada titik ini, Mahkamah Konstitusi (MK) lantas turut ambil bagian. MK membatalkan pasal keotomatisan partai-partai politik di bawah angka electoral threshold untuk menjadi peserta pemilu. Tetapi, karena keputusan itu ditetapkan setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah melangkah jauh dengan tahapan-tahapan penyelenggaraan pemilu yang terjadwal, MK dengan pertimbangannya tersendiri pula, tidak membatalkan kepesertaan mereka pada Pemilu 2009. Sehingga jumlah partai politik peserta Pemilu 2009 tercatat 38 buah di tingkat nasional dan 6 buah khusus untuk pemilu DPRD di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).
Adapun Parpol peserta pemilu 2009 berjumlah 34, dimana 16 partai politik lama dan 18 partai politik baru yang telah lolos seleksi. Berikut daftarnya dan sekaligus nomor urut partai peserta.

1. Partai Hati Nurani Rakyat (baru)
2. Partai Karya Peduli Bangsa
3. Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (baru)
4. Partai Peduli Rakyat Nasional (baru)
5. Partai Gerakan Indonesia Raya (baru)
6. Partai Barisan Nasional (baru)
7. Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia
8. Partai Keadilan Sejahtera
9. Partai Amanat Nasional
10. Partai Perjuangan Indonesia Baru (baru)
11. Partai Kedaulatan (baru)
12. Partai Persatuan Daerah (baru)
13. Partai Kebangkitan Bangsa
14. Partai Pemuda Indonesia (baru)
15. Partai Nasional Indonesia Marhaenisme
16. Partai Demokrasi Pembaruan (baru)
17. Partai Karya Perjuangan (baru)
18. Partai Matahari Bangsa (baru)
19. Partai Penegak Demokrasi Indonesia
20. Partai Demokrasi Kebangsaan
21. Partai Republik Nusantara (baru)
22. Partai Pelopor
23. Partai Golongan Karya
24. Partai Persatuan Pembangunan
25. Partai Damai Sejahtera
26. Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia (baru)
27. Partai Bulan Bintang
28. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
29. Partai Bintang Reformasi
30. Partai Patriot (baru)
31. Partai Demokrat
32. Partai Kasih Demokrasi Indonesia (baru)
33. Partai Indonesia Sejahtera (baru)
34. Partai Kebangkitan Nasional Ulama (baru)

Lantas, MK juga membatalkan pasal yang menegaskan bahwa pemilu akan menerapkan sistem proporsional terbuka terbatas, dan menetapkan bahwa keterpilihan calon anggota legislatif ditetapkan berdasarkan suara terbanyak. Dengan demikian, MK telah berperan sangat penting dalam merubah electoral law ke arah penerapan sistem proporsional terbuka murni. Lagi-lagi, keputusan MK itu mengecewakan banyak partai politik yang kadung mengagungkan nomor urut, dan meletak-letakkan caleg mereka ke “sembarang tempat”, akibatnya banyak caleg yang “salah letak” karena tak punya akar kuat di daerah pemilihan (dapil) di mana ia berada.
"Banyaknya pilihan yang ditawarkan kepada pemilih akan menyebabkan kebingungan masyarakat, kesulitan memfokuskan pilihan pada parpol atau caleg, belum lagi kondisi demokrasi ini akan semakin parah jika suara golput lebih banyak dari keseluruhan potensi suara masyarakat Indonesia," kata Iwan Hartanto, pengamat politik dari Universitas Diponegoro (Undip) Semarang di Semarang, Selasa (23/9).
Selain itu, kata Iwan keterbukaan kesempatan yang terlalu luas akan menyebabkan kurangnya kredibilitas dan kompetensi caleg sebagai politisi. Hal ini sudah terindikasi dengan kehadiran politisi-politisi 'karbitan' di beberapa partai.
Sedang bagi orang-orang yang sudah cukup memiliki karir di panggung politik dengan mudahnya melenggang ke armada lain yang semakin menunjukkan bahwa yang mereka kejar adalah kekuasaan dan bukan pengabdian.
Konsekuensi Demokrasi Ekstra Liberal
Apa konsekuensi lain dari keputusan “revolusioner” MK tersebut? Penulis pernah mengulas soal ini di Harian Kompas (12/1/2009), yang intinya bahwa keputusan MK tentang perolehan suara terbanyak bagi caleg ke Senayan kian menegaskan format demokrasi langsung kita dan kian meneguhkan, demokrasi kita ekstra liberal3 berbasis individu atau “demokrasi pilihlah aku”. Konsekuensi utama atas keputusan itu, semua parpol peserta pemilu tidak lagi memiliki kontrol ketat penentu terpilihnya calon anggota legislatif (caleg). Nomor urut caleg menjadi tak relevan, tergantikan oleh kekuatan tiap individu caleg. Partai hanya berfungsi sebagai kendaraan dan simbol (merek) politik.
Iklan-iklan partai di televisi dan media cetak hanya memperkuat merek politik para caleg. Sebanyak 38 parpol nasional dan enam di tingkat lokal untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam telah saling beradu merek. Partai-partai lama, khususnya lima besar hasil Pemilu 2004, bersanding dan bersaing satu sama lain, termasuk dengan yang baru. Persaingan simbolik (baik simbol “agama” maupun “non-agama”) dan mengemukanya berbagai jargon dan tema kampanye, tersembul ke dalam berbagai media dan ruang publik.
Modal minimal para caleg “demokrasi pilihlah aku” untuk merebut publik adalah stiker dan spanduk. Ekspresi ketatnya kompetisi politik terpancar dari ribuan wajah caleg plus vote getter masing-masing, terpampang di aneka stiker dan spanduk yang tersebar di mana-mana. Pemandangan ini amat berbeda dengan jalan-jalan Indonesia pada 1955 dan kampanye pada enam kali pemilu Orde Baru serta dua pemilu era reformasi.
Eksperimentasi “demokrasi pilihlah aku” memang masih amat awal. Pada Pemilu 2004, model ini diterapkan untuk pemilu anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), selain pemilihan presiden (pilpres) dan berbagai pemilihan kepala daerah (pilkada) yang dasarnya adalah persaingan antar-individu politik yang didukung partai. Pada pilkada, calon perseorangan dibolehkan dan kelak tak menutup kemungkinan pilpres akan mengakomodasinya sebagai konsekuensi pengejawantahan hak politik individu.
Apa konsekuensi atas praktik “demokrasi pilihlah aku”? Pertama, persaingan antarindividu caleg, bahkan dalam masing-masing partai politik, amat ketat. Masing-masing berebut simpati untuk saling mengungguli. Siapa yang paling aktif mengampanyekan diri (tampil ngepop), dialah yang berpeluang lebih besar daripada yang pasif. Diperlukan banyak modal, khususnya finansial, untuk mendongkrak citra, terutama bagi yang kadar popularitasnya rendah. Pendekatan pragmatis akan banyak digunakan, sepaket dengan politik uang (money politics).
Kedua, jor-joran antarcaleg berisiko menghadirkan aneka intrik dan politiking, antara lain dengan mengemukanya kampanye negatif, bahkan kampanye hitam (black campaign). Soal saling menjatuhkan, mencerminkan egoisme politik “pilihlah aku, jangan yang lain”. Urusannya akan jadi panjang jika terbentur konflik politik yang terbawa-bawa hingga pascapemilu.
Ketiga, karena modal finansial dianggap paling penting, maka terbuka kemungkinan pola “bosisme politik”. Bosisme politik merupakan fenomena yang pernah menggejala di AS, Amerika Latin, dan Filipina. Saat itu, para politisi yang berlaga dibandari para “cukong” dan “mafia”. Mereka memanfaatkan persaingan bebas politik, dengan kekuatan finansial dan jaringan “mafia”, guna memengaruhi secara lembut (politik uang) maupun keras (intimidasi) kepada pemilih (voters). Politik yang keras dan berdarah-darah harus dijauhkan, tetapi apa daya jika egoisme politik lepas kendali.
Keempat, “demokrasi pilihlah aku” juga amat diwarnai adat kebiasaan pemilih. Jika adat kebiasaan itu diwarnai persepsi politik yang bias jender, para caleg perempuan tentu dirugikan. Pertimbangan primordial juga akan mengemuka, khususnya dalam masyarakat tradisional yang preferensi politiknya terbatas. Kelima, kelihatannya model kampanye “door to door” juga marak. Para caleg dan timnya akan turun dari pintu ke pintu, menyapa calon pemilihnya. Kampanye model ini atau yang menyapa langsung masyarakat memang melelahkan, tetapi barangkali lebih efektif ketimbang bentuk kampanye lain.
Keenam, jika sudah terpilih, diperkirakan akan muncul bentuk-bentuk “kesombongan politik baru” dari para elite politik di DPR. Mereka merasa telah begitu ngos-ngosan berebut dukungan dan legitimasi. Bila tersindir sedikit, mereka bisa langsung mengatakan, “Aku ini anggota DPR yang terpilih dengan suara terbanyak.” Ketujuh, dalam jangka panjang, anggota DPR terpilih dituntut untuk pandai-pandai merawat dukungan (konstituen). Kompetensi, kapasitas, dan integritas mereka akan menentukan popularitas, akseptabilitas, dan reelektabilitas kelak. Setelah terpilih, what next? Arena DPR tentu merupakan arena ujian, bukan “bancakan”. Kedelapan, meski banyak pilihan, bukan berarti membuat kelompok golput (non-voters) menipis. Ada lapisan masyarakat yang apatis terhadap banyaknya pilihan dengan alasan substansial maupun teknis. Ini tantangan bagi para caleg dan partai.
Kekhawatiran sejumlah kalangan akan kisruh daftar pemilih tetap pemilu legislatif akhirnya menjadi kenyataan. Hak konstitusi warga negara dikorbankan atas nama undang-undang dan peraturan KPU yang kaku, rancu, dan multitafsir. Apa akar masalahnya?
Meski secara umum berlangsung kondusif, antusiasme masyarakat untuk hadir di tempat-tempat pemungutan suara dapat dikatakan merosot drastis dibandingkan dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Sebagian masyarakat perkotaan memilih berlibur. Mereka yang semula antusias, akhirnya urung ke TPS begitu tahu bahwa beberapa anggota keluarga dan tetangga mereka ternyata tidak terdaftar dalam DPT. Solidaritas antarpemilih untuk tidak menggunakan hak politik mereka menjadi besar menghadapi kenyataan bahwa pemerintah dan jajaran KPU tidak merespons berbagai keluhan warga dengan jelas, tepat, dan bertanggung jawab.
Tidak mengherankan jika tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilu kali ini lebih rendah dibandingkan dengan Pemilu 1999 dan 2004. Diperkirakan lebih dari 30 persen pemilih tidak menggunakan hak mereka, baik karena tidak terdaftar dalam DPT, solider terhadap sesama warga yang tidak terdaftar, maupun lantaran kecewa dengan desain format pemilu yang tidak menghargai hak politik warga negara yang dijamin oleh konstitusi.
Pemerintah dan DPR
Selain KPU, pemerintah dan DPR juga turut bertanggung jawab atas semua kekisruhan pemilu. Tanggung jawab pemerintah dan DPR terletak pada kualitas produk perundangan bidang politik yang kental diwarnai politik dagang sapi antarpartai sehingga UU acap kali hanya mewadahi kepentingan jangka pendek partai-partai. Selaku pembentuk UU, pemerintah dan DPR mengabaikan urgensi pelembagaan sistem pemilu yang sederhana, menjamin hak politik rakyat, dan mudah diimplementasikan. Selain itu, pemerintah dan DPR juga turut bertanggung jawab atas kualitas KPU yang sejak awal menuai kontroversi.
Kelalaian pemerintah lainnya terkait dengan lamban dan tertunda-tundanya pengucuran dana, baik untuk pemutakhiran data pemilih, logistik pemilu, maupun untuk keperluan sosialisasi pemilu. KPU mengeluh soal ini sejak awal, tetapi gagal meyakinkan pemerintah dan DPR akan krusialnya masalah dana. Namun, kelalaian terbesar pemerintah (dan pemerintah-pemerintah daerah) adalah kinerja sangat buruk pendataan penduduk sebagai basis bagi KPU menyusun daftar pemilih sementara (DPS) dan DPT.
Penyakit kronis aparat birokrasi yang memperlakukan pendataan pemilih sekadar sebagai ”proyek” adalah faktor penting di balik terdaftarnya warga yang meninggal, para bayi dan anak-anak, atau tidak terdaftarnya para pemilih pemula. Namun, data pemilih yang amburadul tersebut sebenarnya masih bisa diselamatkan jika jajaran KPU melakukan pemutakhiran dan verifikasi data secara benar dan bertanggung jawab.
Kegagalan KPU
Secara yuridis, KPU format baru sebenarnya memiliki kedudukan yang lebih kuat dan independen dibandingkan dengan KPU sebelumnya. Penguatan dan independensi KPU tersebut disepakati pemerintah dan DPR melalui UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Agar kerja KPU lebih fokus, UU yang sama bahkan mengalihkan urusan logistik pemilu dari komisi ke jajaran Sekretariat Jenderal KPU.
Namun, semua itu tampaknya tak berarti ketika kepemimpinan dan manajerial lemah, kinerja tidak fokus dan tanpa prioritas, serta para anggota komisi gagal mengontrol tanggung jawab mereka masing- masing. Pada gilirannya hal ini membuka peluang intervensi sehingga komisi yang semestinya nonpartisan acap kali dipengaruhi tekanan partai atau kepentingan politik lain di luar komisi.
Kegagalan KPU sudah tampak dari jadwal dan tahapan pemilu yang tak konsisten dan berubah-ubah. Selain tidak serius merespons masukan dan koreksi yang disampaikan kepada mereka, KPU juga gagal mengontrol kinerja jajarannya, KPU provinsi dan kabupaten/kota.
Akibatnya, kisruh DPT tak tertangani hingga hari-H pemilu. Ketidakakurasian data pemilu umumnya disebabkan oleh tiga komponen. Ketiga komponen itu mengacu pada prinsip perubahan penduduk di suatu daerah atau negara pada waktu tertentu. Adapun ketiga komponen dimaksud adalah kelahiran, kematian, dan mobilitas penduduk. Diketahui, besaran ketiga komponen itu amat ditentukan oleh waktu, yakni hari-H pelaksanaan pemilu. Kelahiran dalam hal ini bukan murni menurut konsep kelahiran penduduk, melainkan mengacu pada lahirnya calon pemilih saat hari-H pemilu. Boleh jadi, seseorang ketika pendaftaran belum berusia 17 tahun, tetapi pada hari-H pemilu telah berumur 17 tahun.
Sosialisasi dan rekonsiliasi
Untuk menghindari potensi kerawanan data pemilu, ada dua hal yang bisa dilakukan, yakni sosialisasi dan rekonsiliasi. Sosialisasi diperlukan untuk memberikan pemahaman tentang hak pilih kepada calon pemilih terkait dengan masalah kelahiran (usia 17 tahun ke atas), kematian, dan mobilitas. Sementara itu, rekonsiliasi diperlukan untuk menyamakan persepsi semua partai politik peserta pemilu. Kesamaan persepsi antarpartai politik diperlukan terutama berkaitan dengan keragaman sumber data, baik resmi maupun tak resmi. Secara resmi misalnya data pemilih bisa berasal dari Depdagri, Menko Polhukam, dan KPU. Contohnya, data TPS sebagai representasi jumlah pemilih, untuk sementara menunjukkan perbedaan dari ketiga instansi itu, yakni Depdagri sebanyak 512.188 TPS, Menko Polhukam sebanyak 611.636 TPS, dan KPU sebanyak 528.217 TPS (Tajuk Rencana, Kompas, 5/3).
Sementara itu, sumber data pemilih secara tak resmi bisa berasal dari masing-masing peserta parpol atau LSM. Data pemilu dari sumber tak resmi itu umumnya beredar saat terjadi diskrepansi setelah pengumuman hasil pemilu di masing-masing TPS.
Adapun perlunya kesepakatan dari satu sumber data resmi antara lain karena data calon pemilih kerap dibandingkan dengan data hasil pemilu sehingga penggunaan data yang berbeda-beda berpotensi menimbulkan kekisruhan. Selain acuan sumber data, rekonsiliasi diperlukan untuk menyamakan persepsi soal diskrepansi antara data hasil pendaftaran pemilih dan data hasil pemilu. Kesepakatan diperlukan tentang besarnya diskrepansi yang bisa ditoleransi dan tentang bagaimana menyikapi diskrepansi itu ketika terjadi selisih hasil pemilihan yang sangat kecil antarparpol.
Perbaikan ke depan
Ke depan, sistem stelsel pasif perlu diberlakukan kembali agar hak politik warga negara yang dijamin konstitusi terlindungi. Kedua, perlu dirancang sistem administrasi pemilu yang menjamin akurasi data pemilih dengan identitas kependudukan tunggal sehingga pemberian suara cukup dilakukan dengan menunjukkan KTP atau identitas lain. Perubahan atau penyederhanaan perlu dilakukan atas model surat suara dan format berita acara penghitungan suara. Sistem yang rumit justru membuka peluang penyalahgunaan oleh tangan-tangan tak bertanggung jawab. Ketiga, perlu konsistensi penyederhanaan sistem kepartaian sehingga partai peserta pemilu tidak sebanyak sekarang. Untuk itu, ambang batas parlemen (parliamentary threshold) tak hanya perlu dinaikkan persentasenya, tetapi juga harus diberlakukan di tingkat DPRD provinsi dan kabupaten/kota.
Penataan kembali sistem pemilu mutlak diperlukan agar energi demokratik bangsa ini tidak habis hanya untuk soal teknis-prosedural pemilu. Kalau tidak, kapan mayoritas rakyat kita menjemput keadilan dan kesejahteraan jika hak politik paling mendasar saja tidak bisa dilindungi oleh negara?Berdasarkan hasil simulasi model Input-Output 2000 (Dartanto, 2009), dampak Pemilu 2009 terhadap perekonomian Indonesia adalah sebagai berikut. Pertama, kegiatan Pemilu 2009 akan mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 1,08 persen, sehingga proyeksi pertumbuhan tahun 2009 sebesar 4-5 persen tidaklah susah diraih. Kedua, pengeluaran pemilu sebesar Rp 30 triliun akan membangkitkan dampak tidak langsung dalam perekonomian sebesar Rp 28 triliun. Jadi total dampak langsung dan tidak langsung Pemilu 2009 adalah Rp 58 triliun. Dampak tidak langsung dihasilkan oleh multiplier effect kegiatan kampanye yang menggairahkan aktivitas ekonomi. Kegiatan percetakan kertas suara, spanduk, pamflet, dan bendera tidak hanya akan mendorong peningkatan aktivitas di sektor-sektor tersebut, tetapi juga meningkatkan aktivitas di sektor-sektor lain yang berkaitan (backward and forward linkage). Ketiga, sektor-sektor yang akan mengalami pertumbuhan tinggi adalah sektor telekomunikasi (7,7 persen), transportasi (5 persen), sektor industri percetakan/kertas (9,4 persen), sektor industri pakaian jadi (3,4 persen), serta sektor perdagangan, hotel, dan restoran (2 persen). Pertumbuhan yang lumayan tinggi di sektor industri pakaian jadi, percetakan/ kertas, dan sektor perdagangan-hotel-restoran diharapkan mampu menahan laju penurunan aktivitas sektor-sektor tersebut sebagai akibat krisis global.
Keempat, dampak Pemilu 2009 terhadap perekonomian di Indonesia sangat bergantung pada alokasi dana kampanye. Kampanye melalui iklan televisi dan koran memiliki multiplier effect yang rendah terhadap perekonomian. Selain itu, manfaat ekonominya lebih banyak dinikmati oleh pengusaha-pengusaha media. Sedangkan model kampanye langsung turun ke bawah, seperti membagi-bagikan sembako, kaus, dan pengobatan gratis, menghasilkan multiplier effect yang tinggi terhadap perekonomian. Para calon anggota DPR/DPRD/DPD jangan pernah takut dituduh melakukan money politics jika melakukan kampanye-kampanye turun ke bawah seperti model di atas. Sebab, secara teori ekonomi dan pemasaran, fungsi sembako, kaus, obat gratis, dan buku tulis yang ditempeli lambang partai atau nama calon anggota legislatif sama dengan fungsi televisi/koran, yaitu sebagai media iklan.

BAB III
PENUTUP

Tanggapan Penulis Atas Pelaksanaan Pemilu 2009
Pemilu kali ini, mestinya merupakan antiklimaks bagi orde reformasi. Setelah hampir 10 tahun berjalan, reformasi ternyata tidak mampu menghasilkan landasan kultural untuk mengantar masa depan Indonesia ke dalam sebuah tatanan yang demokratis. Reformasi yang diawali oleh Pertemuan Ciganjur, digarapkan mampu mengubah cara pandang dan cara pikir para elit politik untuk benar-benar meninggalkan primordialisme politik menuju ke pruralitas relasi. Reformasi diharapkan mampu mengembangkan demokrasi transnasional sebagai jawaban atas kemacetan demokrasi selama 32 tahun dimana ketiga partai politik berada dibawah genggaman rezim orde baru. Tetapi sayangnya, mekanisme perubahan yang dilakukan selama 10 tahun terakhir justru menciptakan jurang yang semakin lebar antara demokrasi partitipatif dengan demokrasi kekuasaan yang sentralistik.
Partai-partai politik peserta pemilu lebih merefleksikan kekuatan yang rapuh karena tanpa idealisme dan ideologi yang berbasis pada arena kultural. Hal ini bisa kita lihat dari platform partai-partai politik bersama celeg-calegnya yang dengan sekilas lihat saja, tidak ada yang mengkonsentrasi pada Pembukaan UUd 1945 sebagai ideologi bangsa. Padahal, cita-cita berbangsa seperti termuat dalam Pembukaan UUD 1945 sudah sangat jelas menyebutkan: ‘agar supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, yaitu yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”. Banyak sekali kritik terhadap penyelenggaraan pemilu sehingga muncul pendapat bahwa Pemilu 2009 adalah yang terburuk di Indonesia. Tidak dapat disangkal adanya masalah dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), kesalahan dalam surat suara, kekeliruan dalam distribusi surat suara, dan kelambatan dalam proses penghitungan suara. Kelemahan tersebut telah digunakan oleh banyak partai dan tokoh politik untuk menyalahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Pemerintah. Kelemahan-kelemahan dalam penyelenggaraan pemilu jangan sampai menimbulkan gugatan terhadap hasil pemilu atau menghasilkan tuntutan bagi pemilu ulang.
Tuntutan pembatalan hasil Pemilu 2009 atau tuntutan pemilu ulang akan berakibat buruk bagi perkembangan politik di Indonesia. Kelemahan-kelemahan itu harus digunakan untuk memperbaiki penyelenggaraan Pilpres 2009. Bila ada kecurangan, perlu digunakan jalur hukum tanpa pengerahan massa. Kasus ‘serangan fajar’ ternyata masih digunakan dalam alam demokrasi modern. Pesannya pun singkat, Panwas harus bergigi. Tidak sekedar meneruskan laporan, tetapi langsung menganulir keterpilihan seorang caleg yang terbukti melakukan politik uang. Ini adalah pembusukan demokrasi dan menggerogoti tulang penyangga demokrasi yang dicita-citakan elegan. Semoga tulisan ini dapat menjadi referensi bacaan bagi penulis, pembaca dan pengamat politik serta generasi muda bangsa Indonesia.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Free Blog Templates

Powered By Blogger

Blog Tricks

Powered By Blogger

Easy Blog Tricks

Powered By Blogger

Great Morning ©  Copyright by @rifin Design Blog | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks