Selasa, 02 Februari 2010

Artikel : Perubahan Sistem Ketatanegaraan Paska Amandemen

Pendahuluan
Sistem ketatanegaraan kita pasca amandemen UUD 1945, sesungguhnya mengandung dimensi yang sangat luas, yang tidak saja berkaitan dengan hukum tata negara, tetapi juga bidang-bidang hukum yang lain, seperti hukum administrasi, hak asasi manusia dan lain-lan. Dimensi perubahan itu juga menyentuh tatanan kehidupan politik di tanah air, serta membawa implikasi perubahan yang cukup besar di bidang sosial, politik, ekonomi, pertahanan, dan hubungan internasional.
Tentu semua cakupan masalah yang begitu luas, tidak dapat saya ketengahkan dalam ceramah yang singkat ini. Ceramah ini hanya akan menyoroti beberapa aspek perubahan konstitusi dan pengaruhnya terhadap lembaga-lembaga negara, yang menjadi ruang lingkup kajian hukum tata negara. Terkait dengan hal itu, saya tentu harus menjelaskan sedikit latar belakang sejarah, gagasan dan hasil-hasil perubahan, yang menunjukkan adanya perbedaan-perbedaan dengan UUD 1945 sebelum amandemen. Saya ingin pula mengetengahkan serba sedikit analisis, tentang kelemahan-kelemahan UUD 1945 pasca amandemen, untuk menjadi bahan telaah lebih mendalam, dan mungkin pula dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi penyempurnaan UUD 1945 pasca amandemen.

UUD 1945 dan Perubahan
Sejak awal disahkannya UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945, UUD itu sesungguhnya tidaklah dimaksudkan sebagai undang-undang dasar yang bersifat permanen. Ir. Soekarno yang mengetuai sidang-sidang pengesahan UUD itu dengan tegas menyebutkan bahwa UUD 1945 itu adalah undang-undang dasar sementara, yang dibuat secara kilat. Nanti, kata Soekarno, jika keadaan telah memungkinkan, kita akan membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat, yang akan menyusun undang-undang dasar yang lebih lengkap dan sempurna. Aturan Tambahan UUD 1945 telah secara implisit menyebutkan bahwa UUD 1945 yang disahkan tanggal 18 Agustus 1945 itu, hanya akan berlaku 12 bulan lamanya. Dalam enam bulan sesudah berakhirnya Perang Asia Timur Raya, Presiden sudah harus menyelesaikan tugasnya menyusun segala peraturan dan membentuk lembaga-lembaga negara sebagaimana diatur oleh UUD 1945, termasuk membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dalam 6 bulan setelah MPR terbentuk, majelis itu sudah harus menyelesaikan tugasnya menyusun undang-undang dasar yang baru.
Pemahaman dan penafsiran saya terhadap ketentuan Aturan Peralihan di atas, didasarkan atas notulen perdebatan dalam rapat-rapat pengesahan UUD 1945, yang menjadi latar belakang perumusan ketentuan Aturan Peralihan itu. Pemahaman itu didukung pula oleh fakta sejarah, dengan diterbitkannya Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945, yang menyerukan kepada rakyat untuk membentuk partai politik dalam rangka penyelenggaraan pemilihan umum, yang akan dilaksanakan tanggal 1 Februari 1946. Dalam maklumat itu antara lain dikatakan bahwa pemilu diperlukan agar pemerintahan negara kita dapat disusun secara demokratis. Mungkin dengan pemilihan umum itu, demikian dikatakan dalam maklumat, Pemerintah kita akan berubah, dan undang-undang dasar kita akan disempurnakan menurut kehendak rakyat yang terbanyak. Sayangnya pemilihan umum 1 Februari 1946 itu tidak dapat dilaksanakan. Situasi dalam negeri memburuk akibat kedatangan tentara sekutu yang diboncengi pasukan Belanda. Perang Kemerdekaan berkecamuk, pusat pemerintahan pindah dari Jakarta ke Yogyakarta.
Karena Pemilu tidak dapat dilaksanakan, maka UUD 1945 tetap berlaku, sehingga digantikan dengan Konstitusi Republik Indonesia Serikat, pada tanggal 27 Desember 1949. UUD inipun diganti lagi dengan UUD Sementara Tahun 1950, setelah bubarnya Republik Indonesia Serikat, dan kita kembali ke susunan Negara Kesatuan, tanggal 17 Agustus 1950. Pemilihan Umum 1955 telah menghasilkan terbentuknya Konstituante untuk menyusun UUD yang bersifat tetap. Namun majelis ini dibubarkan Presiden Soekarno melalui Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, sebelum berhasil menyelesaikan tugasnya. Dekrit itu, dengan segala kontroversi yang terdapat di dalamnya, menegaskan berlakunya kembali UUD 1945. Jadi, dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, sampai tibanya era reformasi, sebenarnya tidak pernah terjadi perubahan undang-undang dasar. Apa yang terjadi ialah pergantian undang-undang dasar, dari yang satu ke yang lainnya, seperti saya uraikan tadi. Istilah yang saya gunakan ini, dijadikan sebagai acuan dalam perdebatan Badan Pekerja MPR, ketika membahas perubahan UUD 1945 di era reformasi.
Pandangan saya bahwa UUD 1945 harus diubah mengingat latar belakang historis penyusunanannya, maupun tuntutan perkembangan zaman, bukanlah pendapat yang populer di era sebelum reformasi. Pendapat yang dikembangkan pada masa itu ialah UUD 1945 tidak dapat diubah. Kalau ingin diubah harus melalui referendum, sebagaimana diatur dalam Ketetapan MPR. Saya berpendapat bahwa TAP MPR itu menyalahi ketentuan Pasal 37 UUD 1945. Pendapat Profesor Notonagoro ketika itu, juga dijadikan pegangan, bahwa Pembukaan UUD 1945 tidak boleh diubah. Jika pembukaan diubah, maka akan terjadi pembubaran negara. Banyak negara di dunia ini yang mengubah seluruh konstitusinya, tanpa menyebabkan bubarnya negara itu. Saya berpendapat, negara kita ini baru bubar, jika kita mencabut teks Proklamasi tanggal 17 Agustus 1945. Negara kita sudah ada sejak tanggal 17 Agustus 1945, tanpa bergantung kepada UUD 1945 yang baru disahkan sehari kemudian.
Ketidakinginan melakukan perubahan terhadap UUD 1945 di zaman sebelum reformasi, bukanlah masalah hukum tata negara, tetapi masalah politik. Politik dapat menentukan diubah atau tidaknya UUD. Tentu perubahan itu dilakukan dengan cara-cara demokratis dan konstitusional. Di luar cara itu, adalah perubahan melalui revolusi. Jika cara ini ditempuh, maka sangat tergantung apakah tindakan itu dapat dipertahankan atau tidak. Jika berhasil, maka konstitusi itu akan diterima dan kemudian menjadi sah. Jika gagal, maka perubahan itu dengan sendirinya pula akan gagal. Mereka yang terlibat dalam revolusi yang berhasil, mungkin akan menjadi pahlawan. Sebaliknya kaum revolusioner yang gagal, mungkin akan dituduh sebagai pengkhianat.

Latar Belakang Perubahan
Keinginan politik untuk mengubah UUD 1945 di era reformasi didorong oleh pengalaman-pengalaman politik selama menjalankan UUD itu dalam dua periode, yakni periode yang disebut sebagai Orde Lama (1959-1966) dan periode yang disebut sebagai Orde Baru (1966-1998). Seperti saya katakan di awal ceramah ini, UUD 1945 memang dibuat dalam keadaan tergesa-gesa, sehingga mengandung segi-segi kelemahan, yang memungkinkan munculnya pemerintahan diktator, baik terang-terangan maupun terselubung, sebagaimana ditunjukkan baik pada masa Presiden Soekarno maupun Presiden Soeharto. UUD 1945 sebelum amandemen, memberikan titik berat kekuasaan kepada Presiden. Majelis Permusyawaratan Rakyat, meskipun disebut sebagai pelaksana kedaulatan rakyat, dan penjelmaan seluruh rakyat, dalam kenyataannya susunan dan kedudukannya diserahkan untuk diatur dalam undang-undang.
Presiden Soekarno bahkan mengangkat seluruh anggota MPR tanpa proses Pemilu. Presiden Soeharto telah merekayasa undang-undang susunan dan kedudukan MPR, sehingga majelis itu tidak berdaya dalam mengawasi Presiden, dan bahkan tidak dapat melaksanakan tugas dan kewenangannya secara optimal. UUD 1945 juga mengandung ketidakjelasan mengenai batas periode masa jabatan Presiden. MPRS pernah mengangkat Presiden Soekarno sebagai presiden seumur hidup. MPR Orde Baru berkali-kali mengangkat Presiden Soeharto, sampai akhirnya, atas desakan berbagai pihak, menyatakan berhenti di era awal reformasi, tanggal 21 Mei 1998. Keinginan untuk menghindari kediktatoran, baik terbuka maupun terselubung, dan membangun pemerintahan yang demokratis, menjadi latar belakang yang penting yang mendorong proses perubahan UUD 1945 pada era reformasi.
Keinginan untuk menata ulang kedudukan lembaga-lembaga negara, agar terciptanya check and balances juga terasa begitu kuatnya. Demikian pula keinginan untuk memperjuangkan tegaknya hukum dan pengakuan serta perlindungan terhadap hak asasi manusia. Keinginan untuk memberikan perhatian yang lebih besar kepada daerah-daerah juga demikian menguat, sehingga kewenangan-kewenangan Pemerintah Daerah juga perlu diperkuat, untuk mencegah terjadinya disintegrasi. Pada akhirnya, keinginan yang teguh untuk membangun kesejahteraan rakyat, yang telah lama menjadi harapan dan impian, terasa demikian menguat pada era reformasi. Itulah antara lain, latar belakang keinginan dan aspirasi yang mengiringi perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Namun perubahan itu dilaksanakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil Pemilu 1999, yang diikuti oleh partai-partai politik, baik lama maupun baru, yang ternyata tidak menghasilkan kekuatan mayoritas. Dalam situasi seperti itu, dapat dipahami jika perumusan pasal-pasal perubahan penuh dengan kompromi-kompromi politik, yang tidak selalu mudah dipahami dari sudut pandang hukum tata negara. Proses perubahan itu dipersiapkan oleh Panita Ad Hoc MPR, yang mencerminkan kekuatan fraksi-fraksi yang ada di dalamnya. Akhinya terjadilah empat kali perubahan, dalam bentuk penambahan dan penghapusan ayat-ayat, namun secara keseluruhan, tetap terdiri atas 37 Pasal, yang secara keseluruhan, ternyata lebih banyak materi muatannya dari naskah sebelum dilakukan perubahan.
Meskipun terjadi empat kali perubahan, namun semua fraksi yang ada di MPR sejak awal telah menyepakati untuk tidak mengubah Pembukaan UUD 1945. Dengan demikian, pikiran-pikiran dasar bernegara sebagaimana termaktub di dalamnya, tetap seperti semula. Namun implementasi pikiran-pikiran dasar itu ke dalam struktur ketatanegaraan, sebagaimana akan saya jelaskan nanti, memang cukup besar. Kesepakatan untuk tidak mengubah Pembukaan ini, memang menunjukkan keinginan fraksi-fraksi untuk menghindari perdebatan yang bersifat filsafat dan ideologi, yang nampaknya memetik pelajaran dari sejarah perdebatan, baik dalam proses penyusunan UUD 1945 di masa pendudukan Jepang maupun perdebatan-perdebatan yang sama di Konstituante. Dua fraksi, yakni Fraksi Partai Persatuan Pembangunan dan Fraksi Partai Bulan Bintang memang mengusulkan perubahan ketentuan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, sebagaimana teks Piagam Jakarta, khusus yang berkaitan dengan syariat Islam. Namun perubahan itu tidak mereka tujukan kepada Pembukaan sebagaimana kedudukan awal dari Piagam Jakarta. Usul perubahan itu kemudian mereka tarik, mengingat kemungkinan gagal memperoleh kesepakatan. Fraksi PBB menegaskan bahwa mereka menunda memperjuangkan amandemen Pasal 29 itu sampai tiba saat yang memungkinkan untuk memperjuangkannya.

Perubahan Mendasar Di Bidang Ketatanegaraan
Secara umum dapat kita katakan bahwa perubahan mendasar setelah empat kali amandemen UUD 1945 ialah komposisi dari UUD tersebut, yang semula terdiri atas Pembukaan, Batang Tubuh dan Penjelasannya, berubah menjadi hanya terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal. Penjelasan UUD 1945, yang semula ada dan kedudukannya mengandung kontroversi karena tidak turut disahkan oleh PPKI tanggal 18 Agustus 1945, dihapuskan. Materi yang dikandungnya, sebagian dimasukkan, diubah dan ada pula yang dirumuskan kembali ke dalam pasal-pasal amandemen.
Perubahan mendasar UUD 1945 setelah empat kali amandemen, juga berkaitan dengan pelaksana kedaulatan rakyat, dan penjelmaannya ke dalam lembaga-lembaga negara. Sebelum amandemen, kedaulatan yang berada di tangan rakyat, dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Majelis yang terdiri atas anggota-anggota DPR ditambah dengan utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan itu, demikian besar dan luas kewenangannya. Antara lain mengangkat dan memberhentikan Presiden, menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara, serta mengubah Undang-Undang Dasar.
Karena kewenangan dan posisinya yang demikian penting, maka sebelum amandemen, MPR disebut sebagai lembaga tertinggi negara, yang juga berwenang mengeluarkan ketetapan-ketetapan yang hierarki hukumnya berada di bawah Undang-Undang Dasar dan di atas undang-undang. Setelah amandemen, kedaulatan rakyat tidak lagi dilaksanakan oleh MPR, namun dilaksanakan menurut undang-undang dasar. Ini berarti semua lembaga negara yang disebutkan di dalam Undang-Undang Dasar sama-sama melaksanakan kedaulatan rakyat, sesuai dengan tugas dan kewenangan masing-masing. Dengan demikian, MPR tidak lagi menempati posisi sebagai lembaga tertinggi negara. Tugas-tugas MPR menjadi lebih terbatas pada mengubah Undang-Undang Dasar, memberhentikan Presiden dalam proses impeachment dan memilih Wakil Presiden yang baru, dalam hal Wakil Presiden yang ada menggantikan Presiden di tengah masa jabatannya. Komposisi keanggotaan MPR yang semula terdiri atas anggota DPR ditambah dengan utusan daerah dan golongan-golongan juga diubah, menjadi terdiri atas anggota DPR dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), sebuah lembaga baru yang dibentuk sebagai hasil dari amandemen UUD 1945. Kewenangan MPR mengeluarkan Ketetapan-ketetapan juga dihapuskan.
Keberadaan DPD, berawal dari upaya untuk mencari kompromi antara gagasan untuk tetap mempertahankan susunan negara kesatuan, dengan gagasan membentuk negara federal. Wacana negara federal sempat meramaikan diskusi selama awal era reformasi. Kesepakatan yang dicapai ialah, Indonesia tetaplah sebuah negara kesatuan, namun sifat œkuasi federal tercermin dalam keberadaan DPD dan penegasan Undang-Undang Dasar tentang otonomi daerah. Ada sejumlah tugas dan kewenangan DPD yang dirumuskan UUD 1945 pasca amandemen, antara lain dapat mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR, yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumberdaya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. DPD juga diberi kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang tertentu sebagaimana disebutkan dalam Pasal 22 D ayat (3) UUD 1945.
Meskipun DPD berwenang mengajukan RUU di bidang-bidang tertentu, namun dewan itu tidak dapat mengajukannya langsung kepada Presiden. Dengan demikian, RUU yang diajukan DPD dapat saja ditolak oleh DPR untuk dijadikan sebagai usul inisiatif. Amandemen UUD 1945, juga telah membalikkan kekuasaan membentuk undang-undang, yang semula berada di tangan Presiden, menjadi kekuasaan DPR. Namun setiap rancangan undang-undang, baik yang datang dari DPR maupun dari Presiden, wajib untuk dibahas bersama untuk mendapatkan persetujuan bersama. Tanpa persetujuan kedua pihak, rancangan undang-undang itu tidak dapat disahkan menjadi undang-undang. Sebagaimana kita maklumi, sejak awal UUD 1945 memang tidak menerapkan Trias Politica Montisquie dalam hal kekuasaan penyelengaraan kewenangan legislatif. Sampai empat kali amandemen, kewenangan legislatif tetap berada pada DPR dan Presiden. Namun kewenangan yudikatif tetap berdiri sendiri dan tidak dapat dicampuri oleh lembaga yang lain. Namun kewenangan yudikatif, tidak lagi berada dalam satu lembaga, yakni Mahkamah Agung seperti sebelum amandemen. Amandemen telah menciptakan badan yudikatif baru yakni Mahkamah Konstitusi.
Keberadaan Mahkamah Konstitusi telah lama menjadi wacana, bahkan sejak awal proses penyusunan UUD 1945. Berbagai wacana mengenai keberadaan lembaga itu muncul kembali menjelang dan di awal era reformasi. Pada akhirnya, amandemen membentuk lembaga itu, dengan kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Mahkamah ini juga berwenang memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa mengenai dugaan bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden yang melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang Dasar, dan kasus-kasus tertentu, dalam sebuah proses impeachment. Kewenangan untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang diserahkan kepada Mahkamah Agung. Adanya kewenangan untuk melakukan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan, baik oleh MK maupun oleh MA, merupakan hal baru dalam UUD 1945. Kewenangan ini, dimaksudkan untuk menciptakan check and balances antara kewenangan Presiden dan DPR dalam bidang legislatif.
Amandemen UUD 1945, selain menciptakan lembaga-lembaga baru, tetapi juga menghapuskan lembaga-lembaga yang ada sebelumnya. Dewan Pertimbangan Agung, misalnya dihapuskan. Sebagai gantinya Presiden membentuk sebuah dewan pertimbangan, yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden. Amandemen juga menciptakan lembaga baru seperti Komisi Yudisial, dan meneguhkan posisi bank sentral, yang sebelumnya hanya diatur di dalam undang-undang. Namun keberadaan Badan Pemeriksa Keuangan, tidak banyak mengalami perubahan dibandingkan dengan keadaan sebelum amandemen.
Kini tibalah saatnya bagi saya untuk menguraikan perubahan-perubahan penting dan mendasar tentang lembaga Presiden, setelah amandemen UUD 1945. Syarat untuk menjadi Presiden yang semula harus orang Indonesia asli, telah diubah menjadi warga negara Indonesia sejak kelahirannya, dan tidak pernah memperoleh kewarganegaraan lain atas kehendaknya sendiri. Memang tidak mudah untuk memahami kriteria orang Indonesia asli, seperti sebelum amandeman. Sepanjang sejarah UUD 1945, tidak pernah ada penafsiran resmi tentang apa yang dimaksudkan dengan orang Indonesia asli itu. Salah seorang anggota PPKI, Abdurrahman Baswedan, dari Partai Arab Indonesia, menentang rumusan pasal itu. Namun, beliau mengatakan kepada saya, Ir. Soekarno mengajak beliau keluar ruangan dan meyakinkan Baswedan, bahwa rumusan itu adalah taktik agar Presiden Indonesia nanti bukan orang Jepang, mengingat pada waktu itu Indonesia berada di bawah pendudukan Jepang, dan BPUPKI juga dibentuk atas inisiatif Pemerintah pendudukan Jepang. Benar tidaknya keterangan Baswedan, saya tidak dapat memastikannya karena tidak didukung oleh data pendukung lainnya.
Presiden dan Wakil Presiden tidak lagi diangkat dan diberhentikan oleh MPR karena melanggar haluan negara seperti sebelum amandemen. Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat. Karena itu tidak lagi bertanggung jawab kepada MPR. GBHN juga dihapuskan. Calon Presiden dan Wakil Presiden harus menyusun programnya sendiri untuk ditawarkan kepada rakyat dalam proses pemilihan. Dalam praktik pemilihan Presiden pertama secara langsung, menunjukkan keberhasilan, walaupun diakui bahwa sistem pemilihan presiden pasca amandemen UUD 1945 itu, merupakan sistem pemilihan Presiden yang paling rumit di dunia.
Presiden tidak dapat membubarkan DPR. Namun Presiden, Wakil Presiden dan para menteri, tidak bertanggung jawab kepada lembaga itu. DPR bersama-sama dengan Presiden memegang kewenangan legislasi dalam membentuk undang-undang. DPR diberikan kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan. Namun Presiden, Wakil Presiden dan para menteri tidak terikat pada kewajiban untuk melaksanakan kemauan DPR, baik disampaikan dalam bentuk rekomendasi, saran, usulan dan pernyataan pendapat. DPR dapat œmenuduh� Presiden melakukan pelanggaran terhadap undang-undang dasar, dan kasus-kasus lain, namun tuduhan itu harus diputuskan terbukti atau tidaknya oleh Mahkamah Konstitusi, sebelum dilanjutkan pada sidang MPR untuk meng�impeach� Presiden. Tuduhan itu tidak dapat ditujukan kepada para menteri yang menjadi pembantu Presiden.
Dalam menjalankan tugasnya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden dan menteri-menteri negara. Namun pembentukan dan pembubaran kementerian negara diatur dengan undang-undang. Aturan seperti ini tidak lazim dalam konstitusi yang ada di dunia ini, kecuali dalam sistem pemerintahan parlementer. GBHN sudah tidak ada lagi, dan Presiden menyusun programnya sendiri. Untuk melaksanakan program itu, Presiden tentu harus membentuk kabinet yang diperkirakan akan dapat melaksanakan program-programnya yang telah didukung oleh rakyat. Rumusan pembentukan dan pembubaran kementerian negara harus diatur dengan undang-undang, muncul sebagai reaksi atas perilaku Presiden Abdurrahman Wahid, yang begitu banyak melakukan pembubaran, pembentukan serta pergantian menteri. Namun, bagaimanapun juga, aturan itu kini telah ada di dalam UUD 1945 pasca amandemen. DPR baru-baru ini, telah mengajukan RUU tentang Kementerian Negara kepada Presiden.
Amandemen UUD 1945 memang berusaha untuk mengurangi kekuasaan yang begitu besar yang berada di tangan Presiden, sebagaimana diterapkan oleh Presiden Soekarno dan Soeharto. Masa jabatan Presiden dibatasi hanya dua periode, untuk mencegah terulangnya pemerintahan tanpa batasan yang jelas seperti di masa lalu. Kewenangan Presiden untuk mengangkat duta dan menerima duta negara lain, juga dilakukan dengan memperhatikan pertimbangan DPR. Demikian pula dalam pengangkatan dan pemberhentian Panglima TNI dan Kapolri, dilakukan Presiden setelah mendapat pertimbangan DPR. Ketentuan yang terakhir ini, menyebabkan panglima TNI dan Kapolri bukan lagi pejabat setingkat menteri negara dan menjadi anggota kabinet, karena Presiden telah kehilangan hak prerogatif untuk mengangkat dan memberhentikan kedua pejabat itu.
Selain perubahan-perubahan mendasar pada lembaga-lembaga negara, amandemen UUD 1945 juga telah memuat begitu banyak pasal-pasal tentang pengakuan hak asasi manusia. Memang UUD 1945 sebelum amandemen, boleh dikatakan sangat sedikit memuat ketentuan-ketentuan tentang hal itu, sehingga menjadi bahan kritik, baik para pakar konstitusi, maupun politisi dan aktivis HAM. Dimasukkannya pasal-pasal HAM memang menandai era baru Indonesia, yang kita harapkan akan lebih memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan hak asasi manusia. Pemerintah dan DPR, juga telah mensahkan berbagai instrument HAM internasional, di samping juga mensahkan undang-undang tentang HAM pada masa pemerintahan Presiden Habibie.

Penutup
Saya telah menguraikan perubahan-perubahan mendasar sistem ketatanegaraan kita pasca amandemen UUD 1945. Penerapan perubahan itu, baik dalam merumuskan undang-undang pelaksanaanya, maupun penerapannya dalam praktik, tidaklah mudah. Sebagian besar undang-undang pelaksanaannya, kecuali undang-undang tentang kementerian negara seperti saya katakan tadi, telah selesai disusun. Namun, masih mengandung banyak kelemahan dan kekurangan, sehingga perlu untuk terus-menerus disempurnakan. Kesulitan merumuskan undang-undang pelaksanaannya itu, seringkali pula disebabkan oleh ketidakjelasan rumusan pasal-pasal UUD 1945 pasca amandemen. Bahasa yang digunakan kerapkali bukan bahasa hukum, seperti istilah tindak pidana berat dan perbuatan tercela yang dapat dijadikan sebagai alasan impeachment kepada Presiden dan Wakil Presiden. Sistematika perumusan pasal-pasal juga menyulitkan penafsiran sistematis. Hal ini disebabkan oleh keengganan MPR untuk menambah jumlah pasal UUD 1945, dan merumuskan ulang seluruh hasil amandemen itu secara sistematis.
Tentu saja penerapan dan pelaksanaan sebuah undang-undang dasar akan sangat dipengaruhi oleh situasi perkembangan zaman, serta kedewasaan bernegara para pelaksananya. Adanya semangat para penyelenggara negara yang benar-benar berjiwa kenegerawanan, sangatlah mutlak diperlukan untuk mengatasi kekurangan dan kelemahan rumusan sebuah undang-undang dasar. Tanpa itu, undang-undang dasar yang baik dan sempurna pun, dapat diselewengkan ke arah yang berlawanan. Namun, apapun juga, amandemen konstitusi itu telah terjadi, dan menjadi bagian sejarah perjalanan bangsa ke depan. Saya hanya berharap, semoga perubahan itu membawa perjalanan bangsa dan negara kita ke arah yang lebih baik. Read more "Artikel : Perubahan Sistem Ketatanegaraan Paska Amandemen..."

Senin, 01 Februari 2010

Alat Musik Tradisional

Kebudayaan dan warisan
Pertunjukan
Indonesia memiliki sekitar 300 kelompok etnis, tiap etnis memiliki warisan budaya yang berkembang selama berabad-abad, dipengaruhi oleh kebudayaan India, Arab, Cina, Eropa, dan termasuk kebudayaan sendiri yaitu Melayu. Contohnya tarian Jawa dan Bali tradisional memiliki aspek budaya dan mitologi Hindu, seperti wayang kulit yang menampilkan kisah-kisah tentang kejadian mitologis Hindu Ramayana dan Baratayuda. Banyak juga seni tari yang berisikan nilai-nilai Islam. Beberapa di antaranya dapat ditemukan di daerah Sumatera seperti tari Ratéb Meuseukat dan tari Seudati dari Aceh.
Seni pantun, gurindam, dan sebagainya dari pelbagai daerah seperti pantun Melayu, dan pantun-pantun lainnya acapkali dipergunakan dalam acara-acara tertentu yaitu perhelatan, pentas seni, dan lain-lain.
Di bidang busana warisan budaya yang terkenal di seluruh dunia adalah kerajinan batik. Beberapa daerah yang terkenal akan industri batik meliputi Yogyakarta, Surakarta, Cirebon, Pandeglang, Garut, Tasikmalaya dan juga Pekalongan. Kerajinan batik ini pun diklaim oleh negara lain dengan industri batiknya. Busana asli Indonesia dari Sabang sampai Merauke lainnya dapat dikenali dari ciri-cirinya yang dikenakan di setiap daerah antara lain baju kurung dengan songketnya dari Sumatera Barat (Minangkabau), kain ulos dari Sumatra Utara (Batak), busana kebaya, busana khas Dayak di Kalimantan, baju bodo dari Sulawesi Selatan, busana berkoteka dari Papua dan sebagainya.
Seni musik di Indonesia, baik tradisional maupun modern sangat banyak terbentang dari Sabang hingga Merauke. Setiap provinsi di Indonesia memiliki musik tradisional dengan ciri khasnya tersendiri. Musik tradisional termasuk juga keroncong yang berasal dari keturunan Portugis di daerah Tugu, Jakarta, yang dikenal oleh semua rakyat Indonesia bahkan hingga ke mancanegara. Ada juga musik yang merakyat di Indonesia yang dikenal dengan nama dangdut yaitu musik beraliran Melayu modern yang dipengaruhi oleh musik India sehingga musik dangdut ini sangat berbeda dengan musik tradisional Melayu yang sebenarnya, seperti musik Melayu Deli, Melayu Riau, dan sebagainya.
Alat musik tradisional yang merupakan alat musik khas Indonesia memiliki banyak ragam dari pelbagai daerah di Indonesia, namun banyak pula dari alat musik tradisional Indonesia 'dicuri' oleh negara lain untuk kepentingan penambahan budaya dan seni musiknya sendiri dengan mematenkan hak cipta seni budaya dari Indonesia. Alat musik tradisional Indonesia antara lain meliputi:

1. Gong
Gong merupakan sebuah alat musik pukul yang terkenal di Asia Timur. Gong ini digunakan untuk alat musik tradisional. Saat ini tidak banyak lagi perajin gong seperti ini.
Gong yang telah ditempa belum dapat ditentukan nadanya. Nada gong baru terbentuk setelah dibilas dan dibersihkan. Apabila nadanya masih belum sesuai, gong dikerok sehingga lapisan perunggunya menjadi lebih tipis. Di Korea Selatan disebut juga Kkwaenggwari. Tetapi kkwaenggwari yang terbuat dari logam berwarna kuningan ini dimainkan dengan cara ditopang oleh kelima jari dan dimainkan dengan cara dipukul sebuah stik pendek. Cara memegang kkwaenggwari menggunakan lima jari ini ternyata memiliki kegunaan khusus, karena satu jari (telunjuk) bisa digunakan untuk meredam getaran gong dan mengurangi volume suara denting yang dihasilkan.

2. Rebab

Rebab(Arab: الرباب atau رباب) adalah alat musik gesek yang biasanya menggunakan 2 atau 3 dawai, alat musik ini banyak di temukan di negara-negara Islam.
Alat musik yang menggunakan penggesek dan mempunyai tiga atau dua utas tali dari dawai logam (tembaga) ini badannya menggunakan kayu nangka dan berongga di bagian dalam ditutup dengan kulit lembu yang dikeringkan sebagai pengeras suara.]
Dalam gamelan
Dalam musik Sunda, alat ini juga digunakan sebagai pengiring gamelan, sebagai pelengkap untuk mengiringi sinden bernyanyi bersama-sama dengan kecapi dan suling. Dalam gamelan Jawa, fungsi rebab tidak hanya sebagai pelengkap untuk mengiringi nyanyian sindhen tetapi lebih berfungsi untuk menuntun arah lagu sindhen.
Rebab seperti biola yang bersenar dua. Komponen utamanya kayu, senarnya biasanya terbuat dari tembaga. Sewaktu memainkannya, rebab ditempelkan di leher dan mengarah ke atas.

3. Sasando, Alat Musik dari Pohon Lontar yang Hampir Punah
Mirip Gitar, Sekali Dipetik Tujuh Dawai Bergetar Bagi masyarakat Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, pohon lontar adalah sumber kehidupan. Selain menghasilkan tuak, sopl, gula lempeng, gula semut,dan wadah pembungkus rokok, lontar dapat dijadikan wadah resonator musik yang dikenal dengan sebutan sasando. Seperti apa alat musik yang hampir punah tersebut?
MENURUT Jack Bulan, budayawan yang juga konsen terhadap alat musik sasando, asal muasal alat musik ini dikemas dalam legenda berbagai versi. Konon, seorang pemuda bernama Sangguana terdam-
par di Pulau Ndana saat melaut. Dia dibawa oleh penduduk menghadap raja di istana. Selama di istana inilah bakat seni yang dimiliki Sangguana segera diketahui banyak orang hingga sang putri terpikat.
Dia meminta Sangguana menciptakan alat musik yang belum per-
nah ada. Suatu malam, Sangguana bermimpi sedang memainkan suatu ala! musik yang indah bentuk maupun suaranya. Diilhami mimpi tersebut, Sangguana menciptakan alat musik yang diberi nama Sandu (artinya bergetar). Ketika memainkan-nya, Sang Putri bertanya lagu apa yang dimainkan dan Sangguana menjawab, Sari Sandu. "Alat musik itu pun dia berikan kepada Sang Putri yang kemudian menamakannya Depo Hilu yang artinya sekali dipetik tujuh dawai bergetar," ujarnya.
Cerita lain menyebutkan, penemu sasando adalah dua gembala domba, Lunggi Lain dan Balok Ama Sina. Disebutkan, ketika membuat haik atau wadah penampung air tuak dari daun lontar, mereka menemukan semacam benang yang di-sebuty? pada lembaran daun lontar yang dapat menimbulkan bunyi berbeda-beda ketika dikencangkan. Kejadian tersebut mendorong dua orang ini untuk menciptakan alat musik petik yang dapat monirn suara-suara gong. "Setelah mencoba dan mencari mereka berhasil menemukan alat musik dari haik berdawai serat pelepah lontar yang menjadi cikal bakal sasando yang dikenal saat ini," katanya mengisahkan.
Jack mengaku, keindahan bunyi sasando mampu menangkap dan mengekspresikan beraneka macam nuansa dan emosi. Karena itu, dalam masyarakat Nusa Tenggara Timur, sasando adalah sebagai alat musik pengiring tari, penghibur keluarga saat berduka, menambah keceriaan saat bersuka cita, serta sebagai hiburan pribadi.
"Secara umum, bentuk sasando serupa dengan instrumen petik lainnya seperti gitar, biola, dan kecapi. Tetapi tanpa chord (kunci), senar sasando harus dipetik dengan dua tangan, seperti harpa. Tangan kiri berfungsi memainkan melodi dan bas. sementara tangan kanan memainkan accord. Ini menjadi keunikan sasando karena seseorang dapat menjadi melodi, bas dan accord sekaligus,"

4. Kolintang
SEJARAH & PERKEMBANGANNYA
Kolintang merupakan alat musik khas dari Minahasa (Sulawesi Utara) yang mempunyai bahan dasar yaitu kayu yang jika dipukul dapat mengeluarkan bunyi yang cukup panjang dan dapat mencapai nada-nada tinggi maupun rendah seperti kayu telur, bandaran, wenang, kakinik atau sejenisnya (jenis kayu yang agak ringan tapi cukup padat dan serat kayunya tersusun sedemikian rupa membentuk garis-garis sejajar).
Kata Kolintang berasal dari bunyi : Tong (nada rendah), Ting (nada tinggi) dan Tang (nada tengah). Dahulu Dalam bahasa daerah Minahasa untuk mengajak orang bermain kolintang: "Mari kita ber Tong Ting Tang" dengan ungkapan "Maimo Kumolintang" dan dari kebiasaan itulah muncul nama "KOLINTANG” untuk alat yang digunakan bermain.
Pada mulanya kolintang hanya terdiri dari beberapa potong kayu yang diletakkan berjejer diatas kedua kaki pemainnya dengan posisi duduk di tanah, dengan kedua kaki terbujur lurus kedepan. Dengan berjalannya waktu kedua kaki pemain diganti dengan dua batang pisang, atau kadang-kadang diganti dengan tali seperti arumba dari Jawa Barat. Sedangkan penggunaan peti sesonator dimulai sejak Pangeran Diponegoro berada di Minahasa (th.1830). Pada saat itu, konon peralatan gamelan dan gambang ikut dibawa oleh rombongannya. Adapun pemakaian kolintang erat hubungannya dengan kepercayaan tradisional rakyat Minahasa, seperti dalam upacara-upacara ritual sehubungan dengan pemujaan arwah para leluhur. Itulah sebabnya dengan masuknya agama kristen di Minahasa, eksistensi kolintang demikian terdesak bahkan hampir menghilang sama sekali selama ± 100th.
Sesudah Perang Dunia II, barulah kolintang muncul kembali yang dipelopori oleh Nelwan Katuuk (seorang yang menyusun nada kolintang menurut susunan nada musik universal). Pada mulanya hanya terdiri dari satu Melody dengan susunan nada diatonis, dengan jarak nada 2 oktaf, dan sebagai pengiring dipakai alat-alat "string" seperti gitar, ukulele dan stringbas.
Tahun 1954 kolintang sudah dibuat 2 ½ oktaf (masih diatonis). Pada tahun 1960 sudah mencapai 3 ½ oktaf dengan nada 1 kruis, naturel, dan 1 mol. Dasar nada masih terbatas pada tiga kunci (Naturel, 1 mol, dan 1 kruis) dengan jarak nada 4 ½ oktaf dari F s./d. C. Dan pengembangan musik kolintang tetap berlangsung baik kualitas alat, perluasan jarak nada, bentuk peti resonator (untuk memperbaiki suara), maupun penampilan. Saat ini Kolintang yang dibuat sudah mencapai 6 (enam) oktaf dengan chromatisch penuh.

5. Talempong
Talempong adalah sebuah alat musik pukul khas suku bangsa Minangkabau. Bentuknya hampir sama dengan instrumen bonang dalam perangkat gamelan. Talempong dapat terbuat dari kuningan, namun ada pula yang terbuat dari kayu dan batu. Saat ini talempong dari jenis kuningan lebih banyak digunakan. Talempong ini berbentuk bundar pada bagian bawahnya berlobang sedangkan pada bagian atasnya terdapat bundaran yang menonjol berdiameter lima sentimeter sebagai tempat untuk dipukul. Talempong memiliki nada yang berbeda-beda. Bunyi dihasilkan dari sepasang kayu yang dipukulkan pada permukaannya.
Talempong biasanya digunakan untuk mengiringi tarian pertunjukan atau penyambutan, seperti Tari Piring yang khas, Tari Pasambahan, dan Tari Gelombang. Talempong juga digunakan untuk melantunkan musik menyambut tamu istimewa. Talempong ini memainkanya butuh kejelian dimulai dengan tangga pranada DO dan diakhiri dengan SI.[rujukan?] Talempong diiringi oleh akord yang cara memainkanya serupa dengan memainkan piano.

6. Gambang Kromong
Salah satu musik khas dari kesenian Betawi yang paling terkenal adalah Gambang Kromong, dimana dalam setiap kesempatan perihal Betawi, Gambang Kromong selalu menjadi tempat yang paling utama. Hampir setiap pemberitaan yang ditayangkan di televisi, Gambang Kromong selalu menjadi ilustrasi musiknya.

Kesenian musik ini merupakan perpaduan dari kesenian musik setempat dengan Cina.
Hal ini dapat dilihat dari instrumen musik yang digunakan, seperti alat musik gesek dari Cina yang bernama Kongahyan, Tehyan dan Sukong. Sementara alat musik Betawi antara lain; gambang, kromong, kemor, kecrek, gendang kempul dan gong.

Kesenian Gambang Kromong berkembang pada abad 18, khususnya di sekitaran daerah Tangerang. Bermula dari sekelompok grup musik yang dimainkan oleh beberapa orang pekerja pribumi di perkebunan milik Nie Hu Kong yang berkolaborasi dengan dua orang wanita perantauan Cina yang baru tiba dengan membawa Tehyan dan Kongahyan.

Pada awalnya lagu-lagu yang dimainkan adalah lagu-lagu Cina, pada istilah sekarang lagu-lagu klasik semacam ini disebut Phobin. Lagu Gambang Kromong muatan lokal yang masih kental unsur klasiknya bisa didengarkan lewat lagu Jali-Jali Bunga Siantan, Cente Manis, dan Renggong Buyut.

Pada tahun 70an Gambang Kromong sempat terdongkrak keberadaannya lewat sentuhan kreativitas "Panjak" Betawi legendaris "Si Macan Kemayoran", Almarhum H. Benyamin Syueb bin Ji'ung. Dengan sentuhan berbagai aliran musik yang ada, jadilah Gambang Kromong seperti yang kita dengar sekarang. Hampir di tiap hajatan atau "kriya'an" yang ada di tiap kampung Betawi, mencantumkan Gambang Kromong sebagai menu hidangan musik yanh paling utama.

Seniman Gambang Kromong yang dikenal selain H. Benyamin Syueb adalah Nirin Kumpul, H. Jayadi dan bapak Nya'at.
Seiring dengan perkembangan zaman, keberadaan musik ini menjadi "terengah-engah" antara hidup dan mati (dalam tabel yang dibuat Yahya AS termasuk dalam kondisi "sedang"). Musik ini hanya terdengar di antara bulan Juni saja, yaitu sewaktu hari ulang tahun Jakarta. padahal tanggal dan tahun kelahiran kota jakarta saja belum jelas pastinya. Itupun di tempat-tempat tertentu, seperti di Setu Babakan misalnya.

Diperlukan pembinaan dan pelestarian berkelanjutan seni musik Gambang Kromong ini, khususnya bagi generasi muda Betawi. Kepedulian generasi muda Betawi terhadap keseniannya (seni musik dan seni silat) hendaknya harus melebihi generasi muda di daerah lainnya, karena keberadaan etnis Betawi itu sendiri yang berada di ibu kota Jakarta sebagai etalase kebudayaan Indonesia.

7. Kecapi
KECAPI merupakan alat musik petik khas Kalimantan Tengah yang bisa digunakan oleh masyarakat suku Dayak untuk mengiringi lagu khas Kalimantan Tengah seperti Badeder/Deder (nyanyian pantun), Karungut, Dodoi (nyanyian saat mendayung perahu/sampan/rakit). Kecapi juga dapat digunakan untuk mengiringi tari - tarian khas Kalimantan Tengah dalam sebuah festival atau dalam menyambut tamu besar, Mansana (bercerita), acara perkawinan, acara kelahiran dan segala macam lainnya dech. Tapi kalau dulu kala Kecapi lebih banyak digunakan untuk mengantar para pahlawan - pahlawan jaman dulu untuk maju berperang melawan musuh.

Kecapi sendiri terbuat dari sebuah kayu ringan, yang bertalikan senar. Senarnya bisa menggunakan nilon. Kalau dulu sich kata orang tua saya senar Kecapi lebih banyak menggunakan Rotan atau kulit kayu karena lebih tahan lama, kuat dan suaranya yang khas, apalagi jaman dulu gak ada yang namanya Nilon.

Tapi dibalik ini semua alat musik petik khas Kalimantan Tengah ini, sudah mulai ditinggalkan para pemuda - pemudi Kalteng. Karena anak uluh itah lebih suka menggunakan alat musik petik macam gitar atau alat musik modern lainnya, dan yang pastinya lebih suka menyanyikan lagu - lagu tren kesukaan mereka. Read more "Alat Musik Tradisional..."

Alat Musik Tradisional

Kebudayaan dan warisan
Pertunjukan
Indonesia memiliki sekitar 300 kelompok etnis, tiap etnis memiliki warisan budaya yang berkembang selama berabad-abad, dipengaruhi oleh kebudayaan India, Arab, Cina, Eropa, dan termasuk kebudayaan sendiri yaitu Melayu. Contohnya tarian Jawa dan Bali tradisional memiliki aspek budaya dan mitologi Hindu, seperti wayang kulit yang menampilkan kisah-kisah tentang kejadian mitologis Hindu Ramayana dan Baratayuda. Banyak juga seni tari yang berisikan nilai-nilai Islam. Beberapa di antaranya dapat ditemukan di daerah Sumatera seperti tari Ratéb Meuseukat dan tari Seudati dari Aceh.
Seni pantun, gurindam, dan sebagainya dari pelbagai daerah seperti pantun Melayu, dan pantun-pantun lainnya acapkali dipergunakan dalam acara-acara tertentu yaitu perhelatan, pentas seni, dan lain-lain.
Di bidang busana warisan budaya yang terkenal di seluruh dunia adalah kerajinan batik. Beberapa daerah yang terkenal akan industri batik meliputi Yogyakarta, Surakarta, Cirebon, Pandeglang, Garut, Tasikmalaya dan juga Pekalongan. Kerajinan batik ini pun diklaim oleh negara lain dengan industri batiknya. Busana asli Indonesia dari Sabang sampai Merauke lainnya dapat dikenali dari ciri-cirinya yang dikenakan di setiap daerah antara lain baju kurung dengan songketnya dari Sumatera Barat (Minangkabau), kain ulos dari Sumatra Utara (Batak), busana kebaya, busana khas Dayak di Kalimantan, baju bodo dari Sulawesi Selatan, busana berkoteka dari Papua dan sebagainya.
Seni musik di Indonesia, baik tradisional maupun modern sangat banyak terbentang dari Sabang hingga Merauke. Setiap provinsi di Indonesia memiliki musik tradisional dengan ciri khasnya tersendiri. Musik tradisional termasuk juga keroncong yang berasal dari keturunan Portugis di daerah Tugu, Jakarta, yang dikenal oleh semua rakyat Indonesia bahkan hingga ke mancanegara. Ada juga musik yang merakyat di Indonesia yang dikenal dengan nama dangdut yaitu musik beraliran Melayu modern yang dipengaruhi oleh musik India sehingga musik dangdut ini sangat berbeda dengan musik tradisional Melayu yang sebenarnya, seperti musik Melayu Deli, Melayu Riau, dan sebagainya.
Alat musik tradisional yang merupakan alat musik khas Indonesia memiliki banyak ragam dari pelbagai daerah di Indonesia, namun banyak pula dari alat musik tradisional Indonesia 'dicuri' oleh negara lain untuk kepentingan penambahan budaya dan seni musiknya sendiri dengan mematenkan hak cipta seni budaya dari Indonesia. Alat musik tradisional Indonesia antara lain meliputi:

1. Gong
Gong merupakan sebuah alat musik pukul yang terkenal di Asia Timur. Gong ini digunakan untuk alat musik tradisional. Saat ini tidak banyak lagi perajin gong seperti ini.
Gong yang telah ditempa belum dapat ditentukan nadanya. Nada gong baru terbentuk setelah dibilas dan dibersihkan. Apabila nadanya masih belum sesuai, gong dikerok sehingga lapisan perunggunya menjadi lebih tipis. Di Korea Selatan disebut juga Kkwaenggwari. Tetapi kkwaenggwari yang terbuat dari logam berwarna kuningan ini dimainkan dengan cara ditopang oleh kelima jari dan dimainkan dengan cara dipukul sebuah stik pendek. Cara memegang kkwaenggwari menggunakan lima jari ini ternyata memiliki kegunaan khusus, karena satu jari (telunjuk) bisa digunakan untuk meredam getaran gong dan mengurangi volume suara denting yang dihasilkan.

2. Rebab

Rebab(Arab: الرباب atau رباب) adalah alat musik gesek yang biasanya menggunakan 2 atau 3 dawai, alat musik ini banyak di temukan di negara-negara Islam.
Alat musik yang menggunakan penggesek dan mempunyai tiga atau dua utas tali dari dawai logam (tembaga) ini badannya menggunakan kayu nangka dan berongga di bagian dalam ditutup dengan kulit lembu yang dikeringkan sebagai pengeras suara.]
Dalam gamelan
Dalam musik Sunda, alat ini juga digunakan sebagai pengiring gamelan, sebagai pelengkap untuk mengiringi sinden bernyanyi bersama-sama dengan kecapi dan suling. Dalam gamelan Jawa, fungsi rebab tidak hanya sebagai pelengkap untuk mengiringi nyanyian sindhen tetapi lebih berfungsi untuk menuntun arah lagu sindhen.
Rebab seperti biola yang bersenar dua. Komponen utamanya kayu, senarnya biasanya terbuat dari tembaga. Sewaktu memainkannya, rebab ditempelkan di leher dan mengarah ke atas.

3. Sasando, Alat Musik dari Pohon Lontar yang Hampir Punah
Mirip Gitar, Sekali Dipetik Tujuh Dawai Bergetar Bagi masyarakat Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, pohon lontar adalah sumber kehidupan. Selain menghasilkan tuak, sopl, gula lempeng, gula semut,dan wadah pembungkus rokok, lontar dapat dijadikan wadah resonator musik yang dikenal dengan sebutan sasando. Seperti apa alat musik yang hampir punah tersebut?
MENURUT Jack Bulan, budayawan yang juga konsen terhadap alat musik sasando, asal muasal alat musik ini dikemas dalam legenda berbagai versi. Konon, seorang pemuda bernama Sangguana terdam-
par di Pulau Ndana saat melaut. Dia dibawa oleh penduduk menghadap raja di istana. Selama di istana inilah bakat seni yang dimiliki Sangguana segera diketahui banyak orang hingga sang putri terpikat.
Dia meminta Sangguana menciptakan alat musik yang belum per-
nah ada. Suatu malam, Sangguana bermimpi sedang memainkan suatu ala! musik yang indah bentuk maupun suaranya. Diilhami mimpi tersebut, Sangguana menciptakan alat musik yang diberi nama Sandu (artinya bergetar). Ketika memainkan-nya, Sang Putri bertanya lagu apa yang dimainkan dan Sangguana menjawab, Sari Sandu. "Alat musik itu pun dia berikan kepada Sang Putri yang kemudian menamakannya Depo Hilu yang artinya sekali dipetik tujuh dawai bergetar," ujarnya.
Cerita lain menyebutkan, penemu sasando adalah dua gembala domba, Lunggi Lain dan Balok Ama Sina. Disebutkan, ketika membuat haik atau wadah penampung air tuak dari daun lontar, mereka menemukan semacam benang yang di-sebuty? pada lembaran daun lontar yang dapat menimbulkan bunyi berbeda-beda ketika dikencangkan. Kejadian tersebut mendorong dua orang ini untuk menciptakan alat musik petik yang dapat monirn suara-suara gong. "Setelah mencoba dan mencari mereka berhasil menemukan alat musik dari haik berdawai serat pelepah lontar yang menjadi cikal bakal sasando yang dikenal saat ini," katanya mengisahkan.
Jack mengaku, keindahan bunyi sasando mampu menangkap dan mengekspresikan beraneka macam nuansa dan emosi. Karena itu, dalam masyarakat Nusa Tenggara Timur, sasando adalah sebagai alat musik pengiring tari, penghibur keluarga saat berduka, menambah keceriaan saat bersuka cita, serta sebagai hiburan pribadi.
"Secara umum, bentuk sasando serupa dengan instrumen petik lainnya seperti gitar, biola, dan kecapi. Tetapi tanpa chord (kunci), senar sasando harus dipetik dengan dua tangan, seperti harpa. Tangan kiri berfungsi memainkan melodi dan bas. sementara tangan kanan memainkan accord. Ini menjadi keunikan sasando karena seseorang dapat menjadi melodi, bas dan accord sekaligus,"

4. Kolintang
SEJARAH & PERKEMBANGANNYA
Kolintang merupakan alat musik khas dari Minahasa (Sulawesi Utara) yang mempunyai bahan dasar yaitu kayu yang jika dipukul dapat mengeluarkan bunyi yang cukup panjang dan dapat mencapai nada-nada tinggi maupun rendah seperti kayu telur, bandaran, wenang, kakinik atau sejenisnya (jenis kayu yang agak ringan tapi cukup padat dan serat kayunya tersusun sedemikian rupa membentuk garis-garis sejajar).
Kata Kolintang berasal dari bunyi : Tong (nada rendah), Ting (nada tinggi) dan Tang (nada tengah). Dahulu Dalam bahasa daerah Minahasa untuk mengajak orang bermain kolintang: "Mari kita ber Tong Ting Tang" dengan ungkapan "Maimo Kumolintang" dan dari kebiasaan itulah muncul nama "KOLINTANG” untuk alat yang digunakan bermain.
Pada mulanya kolintang hanya terdiri dari beberapa potong kayu yang diletakkan berjejer diatas kedua kaki pemainnya dengan posisi duduk di tanah, dengan kedua kaki terbujur lurus kedepan. Dengan berjalannya waktu kedua kaki pemain diganti dengan dua batang pisang, atau kadang-kadang diganti dengan tali seperti arumba dari Jawa Barat. Sedangkan penggunaan peti sesonator dimulai sejak Pangeran Diponegoro berada di Minahasa (th.1830). Pada saat itu, konon peralatan gamelan dan gambang ikut dibawa oleh rombongannya. Adapun pemakaian kolintang erat hubungannya dengan kepercayaan tradisional rakyat Minahasa, seperti dalam upacara-upacara ritual sehubungan dengan pemujaan arwah para leluhur. Itulah sebabnya dengan masuknya agama kristen di Minahasa, eksistensi kolintang demikian terdesak bahkan hampir menghilang sama sekali selama ± 100th.
Sesudah Perang Dunia II, barulah kolintang muncul kembali yang dipelopori oleh Nelwan Katuuk (seorang yang menyusun nada kolintang menurut susunan nada musik universal). Pada mulanya hanya terdiri dari satu Melody dengan susunan nada diatonis, dengan jarak nada 2 oktaf, dan sebagai pengiring dipakai alat-alat "string" seperti gitar, ukulele dan stringbas.
Tahun 1954 kolintang sudah dibuat 2 ½ oktaf (masih diatonis). Pada tahun 1960 sudah mencapai 3 ½ oktaf dengan nada 1 kruis, naturel, dan 1 mol. Dasar nada masih terbatas pada tiga kunci (Naturel, 1 mol, dan 1 kruis) dengan jarak nada 4 ½ oktaf dari F s./d. C. Dan pengembangan musik kolintang tetap berlangsung baik kualitas alat, perluasan jarak nada, bentuk peti resonator (untuk memperbaiki suara), maupun penampilan. Saat ini Kolintang yang dibuat sudah mencapai 6 (enam) oktaf dengan chromatisch penuh.

5. Talempong
Talempong adalah sebuah alat musik pukul khas suku bangsa Minangkabau. Bentuknya hampir sama dengan instrumen bonang dalam perangkat gamelan. Talempong dapat terbuat dari kuningan, namun ada pula yang terbuat dari kayu dan batu. Saat ini talempong dari jenis kuningan lebih banyak digunakan. Talempong ini berbentuk bundar pada bagian bawahnya berlobang sedangkan pada bagian atasnya terdapat bundaran yang menonjol berdiameter lima sentimeter sebagai tempat untuk dipukul. Talempong memiliki nada yang berbeda-beda. Bunyi dihasilkan dari sepasang kayu yang dipukulkan pada permukaannya.
Talempong biasanya digunakan untuk mengiringi tarian pertunjukan atau penyambutan, seperti Tari Piring yang khas, Tari Pasambahan, dan Tari Gelombang. Talempong juga digunakan untuk melantunkan musik menyambut tamu istimewa. Talempong ini memainkanya butuh kejelian dimulai dengan tangga pranada DO dan diakhiri dengan SI.[rujukan?] Talempong diiringi oleh akord yang cara memainkanya serupa dengan memainkan piano.

6. Gambang Kromong
Salah satu musik khas dari kesenian Betawi yang paling terkenal adalah Gambang Kromong, dimana dalam setiap kesempatan perihal Betawi, Gambang Kromong selalu menjadi tempat yang paling utama. Hampir setiap pemberitaan yang ditayangkan di televisi, Gambang Kromong selalu menjadi ilustrasi musiknya.

Kesenian musik ini merupakan perpaduan dari kesenian musik setempat dengan Cina.
Hal ini dapat dilihat dari instrumen musik yang digunakan, seperti alat musik gesek dari Cina yang bernama Kongahyan, Tehyan dan Sukong. Sementara alat musik Betawi antara lain; gambang, kromong, kemor, kecrek, gendang kempul dan gong.

Kesenian Gambang Kromong berkembang pada abad 18, khususnya di sekitaran daerah Tangerang. Bermula dari sekelompok grup musik yang dimainkan oleh beberapa orang pekerja pribumi di perkebunan milik Nie Hu Kong yang berkolaborasi dengan dua orang wanita perantauan Cina yang baru tiba dengan membawa Tehyan dan Kongahyan.

Pada awalnya lagu-lagu yang dimainkan adalah lagu-lagu Cina, pada istilah sekarang lagu-lagu klasik semacam ini disebut Phobin. Lagu Gambang Kromong muatan lokal yang masih kental unsur klasiknya bisa didengarkan lewat lagu Jali-Jali Bunga Siantan, Cente Manis, dan Renggong Buyut.

Pada tahun 70an Gambang Kromong sempat terdongkrak keberadaannya lewat sentuhan kreativitas "Panjak" Betawi legendaris "Si Macan Kemayoran", Almarhum H. Benyamin Syueb bin Ji'ung. Dengan sentuhan berbagai aliran musik yang ada, jadilah Gambang Kromong seperti yang kita dengar sekarang. Hampir di tiap hajatan atau "kriya'an" yang ada di tiap kampung Betawi, mencantumkan Gambang Kromong sebagai menu hidangan musik yanh paling utama.

Seniman Gambang Kromong yang dikenal selain H. Benyamin Syueb adalah Nirin Kumpul, H. Jayadi dan bapak Nya'at.
Seiring dengan perkembangan zaman, keberadaan musik ini menjadi "terengah-engah" antara hidup dan mati (dalam tabel yang dibuat Yahya AS termasuk dalam kondisi "sedang"). Musik ini hanya terdengar di antara bulan Juni saja, yaitu sewaktu hari ulang tahun Jakarta. padahal tanggal dan tahun kelahiran kota jakarta saja belum jelas pastinya. Itupun di tempat-tempat tertentu, seperti di Setu Babakan misalnya.

Diperlukan pembinaan dan pelestarian berkelanjutan seni musik Gambang Kromong ini, khususnya bagi generasi muda Betawi. Kepedulian generasi muda Betawi terhadap keseniannya (seni musik dan seni silat) hendaknya harus melebihi generasi muda di daerah lainnya, karena keberadaan etnis Betawi itu sendiri yang berada di ibu kota Jakarta sebagai etalase kebudayaan Indonesia.

7. Kecapi
KECAPI merupakan alat musik petik khas Kalimantan Tengah yang bisa digunakan oleh masyarakat suku Dayak untuk mengiringi lagu khas Kalimantan Tengah seperti Badeder/Deder (nyanyian pantun), Karungut, Dodoi (nyanyian saat mendayung perahu/sampan/rakit). Kecapi juga dapat digunakan untuk mengiringi tari - tarian khas Kalimantan Tengah dalam sebuah festival atau dalam menyambut tamu besar, Mansana (bercerita), acara perkawinan, acara kelahiran dan segala macam lainnya dech. Tapi kalau dulu kala Kecapi lebih banyak digunakan untuk mengantar para pahlawan - pahlawan jaman dulu untuk maju berperang melawan musuh.

Kecapi sendiri terbuat dari sebuah kayu ringan, yang bertalikan senar. Senarnya bisa menggunakan nilon. Kalau dulu sich kata orang tua saya senar Kecapi lebih banyak menggunakan Rotan atau kulit kayu karena lebih tahan lama, kuat dan suaranya yang khas, apalagi jaman dulu gak ada yang namanya Nilon.

Tapi dibalik ini semua alat musik petik khas Kalimantan Tengah ini, sudah mulai ditinggalkan para pemuda - pemudi Kalteng. Karena anak uluh itah lebih suka menggunakan alat musik petik macam gitar atau alat musik modern lainnya, dan yang pastinya lebih suka menyanyikan lagu - lagu tren kesukaan mereka.

Read more "Alat Musik Tradisional..."
 

Free Blog Templates

Powered By Blogger

Blog Tricks

Powered By Blogger

Easy Blog Tricks

Powered By Blogger

Great Morning ©  Copyright by @rifin Design Blog | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks